Sabtu, 26 Desember 2009

seklumit tentang Magelang


kota kelahiran ku yang sekarang masih sama dengan yang dulu..
tapi aku tetap terkesan dengan kota ini...thx

Jumat, 25 Desember 2009

Met Natal 2009 Teman


heeemmm....kluarga LorongSyndicate...mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru 2010 bagi temen2 smua yang ngrayain yaw..
Sambut tahun esok dengan keArifan dan motivasi...


salam Lorong

Selasa, 22 Desember 2009

take picture #1



beberapa hasil jepretan ku hari ini ...pengambilan gambar dilakukan di Kampus Seni Rupa, UNS..
silahkan menikmati

Senin, 21 Desember 2009

BAKSOS SENI RUPA


mari kita luangkan waktu dan sedikit berkorban untuk sesama kita.....dengan semangat Seni Rupa kita bangun rasa persaudaraan dan kekeluargaan, mari teman vote Loby bawah dan Seni Rupa UNS....

Rabu, 16 Desember 2009

MORALITAS 2010

saat aku tak tahu harus berbuat apa....
saat aku sedang terpuruk karena situasi kampus yang sangat tidak mendukung mahasiswanya untuk berkreatifitas dan berkarya...
Akan kah kita akan diam saja...
mendengar ocehan tak bermutu dari pihak pengajaran...

LIHAT SAJA 2010 BESOK....KAMI AKAN MELAKUKAN TINDAKAN!!!!

Rabu, 05 Agustus 2009

Sekitar Desember Hitam

Seni rupa kontemporer menunjukkan kemunculannya di Yogyakarta sekitar tahun 1973. Waktu itu sejumlah mahasiswa STSRI “ASRI” mulai bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru. Sejumlah Mahasiswa seperti Hardi, Agus Dermawan T, Harsono, Siti Adiati, mengikuti jejak senior mereka seperti Muryoto Harotoyo, mulai menyadari pentingnya menambah pengetahuan di bidang-bidang lain, terutama filsafat. Hardi, misalnya sering mencomot pemikiran Martin Buber. Pengetahuan mereka tentang filsafat tentu saja tidak mendalam, tetapi waktu itu mereka sadar bahwa STSRI “ASRI” ketinggalan dari ITB dalam memanfaatkan ilmu-ilmu bantu. Diskusi sering diselenggarakan dan mahasiswa meresponnya dengan antusias (waktu itu masih ada lembaga Dewan Mahasiswa yang nantinya dibubarkan ketika Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Keadaan ini dibuat lebih hidup dengan seringnya STSRI “ASRI”, antara lain lewat Pak Soedarso Sp., mendatangkan penceramah asing. Ceramah biasanya disertai dengan diskusi dan pemutaran slide, kegiatan tersebut seperti pemutaran film tentang kehidupan seniman dan proses penciptaannya sekarang ini jarang diadakan.

Keadaan itulah yang ikut mendorong mahasiswa mengekspresikan dirinya tidak hanya di “Menara Gading” kampus tapi juga di masyarakat. Kelompok 5 lahir antara lain juga didorong oleh keadaan semacam itu. Kelompok ini terdiri Hardi, Harsono, B. Munny Ardhi, Siti Adiati, dan Nanik Mirna. Mereka berlima bisa disebut sebagai agen perdebatan dan diskusi di STSRI “ASRI”. Tetapi cerita mereka dari sisi negative juga ada. Mereka kadang-kadang kurang menghargai orang lain. Kritik mereka terhadap Jurusan Dekorasi (kini Program Studi Disain Interior FSR ISI), meskipun maksudnya baik, seringkali menyakitkan hati. Dengan kata lain, kelompok ini juga bisa dikatakan memiliki kekuasaan di kalangan mahasiswa. Nantinya akan terlihat bahwa kelompok ini kadang-kadang, dengan kekuasaan mereka, melecehka mahasiswa-mahasiswa tertentu . kelompok inilah yang bersama Sanento Yuliman, kritikus seni rupa dan pengajar ITB, dan sejumlah mahasiswa ITB mendeklamasikan terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).

Berbekalkan idealisme yang menyala-yala, mereka menggelar karya-karya seni lukis di beberap kota, antara lain Solo dan Surabaya. Pameran ini, terutama yang di Surabaya di liput secara luas di media massa antara lain, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Kompas, Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan), dan suara karya. Pameran dSolo diselenggerakan 16-20 September 1972, sedangkan yang di Surabaya diselenggerakan setahun kemudian, mulai 27 Agustus 1973. Terselenggaranya kedua pameran ini oleh lima mahasiswa STSRI “ASRI” merupakan prestasi tersendiri mengingat waktu itu keadaan ekonomi Indonesia masih memilukan dan izin pameran seni rupa juga tidak gampang didapat. Para mahasiswa STSRI “ASRI” waktu itu memang giat melakukan pameran, termasuk keluar kota, dan diskusi. Semarang yang waktu itu masih terlelap (dan akan terus terlelap?) tidur dalam kegiatan pameran, oleh para mahasiswa STSRI “ASRI” dicoba dibangunkan dengan kegiatan pameran, meskipun hingga sekarang Semarang terus tidur nyenyak.

Budaya Visual Indonesia

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, peran budaya visual sebagai bagian dari percaturan pembentuk peradaban belum banyak ditelaah. Padahal di Negara-negara maju, budaya visual menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kebudayaan bangsa-bangsa dan peradaban modern Negara-negara tersebut. Desain sebagai salah satu wujud dari budaya visual. Memiliki peranan yang tidak kecil dalam peta sejarah kebudayaan bangsa Indonesia modern yang telah terbangun semenjak masa colonial. Dalam kacamata lain, semakin meluasnya penggunaan teknologi komunikasi yang menembus batas antar Negara telah memicu “perang” budaya melalui tayangan-tayangan visual yang amat beragam, berupa ekspansi ideology kebudayaan dari Negara-negara besar , maupun masuknya artifak modern dari Negara-negara itu ke Negara berkembang. Fenomena ini kerap disebut sebagai bentuk kolonialisme baru. Hal itu tidak hanya berlaku di satu sector kehidupan saja, melainkan telah mencair dalam kehidupan modern yang lebih luas seperti yang berlangsung sekarang.

Agus Sachari……

Jumat, 19 Juni 2009

SENI SEBAGAI NILAI

Seni bukanlah benda, tetapi kata. Tentu saja seni merupakan wujud, bentuk, sesuatu yang dapat diindera manusia. Seni pada dasarnya adalah artefak, berupa gambar, bongkahan bentuk dalam kayu, logam, batu, berupa tulisan, berupa rangkaian bunyi, dsb. Tetapi, sebuah artefak misalnya film televisi , dan lebih khusus lagi adalah telenovela, sinetron, adalah artefak. Kalau sudah ditayangkan di layar televisi, sebagian orang menilainya bukan seni, malah ‘sampah’. Nilai adalah sesuatu yang bersifat subjektif, tergantung pada manusia yang menilainya. Karena subjektif, maka setiap orang, kelompok, masyarakat memiliki nilai-nilai nya sendiri yang disebut seni.

Jakob Sumardjo…

SEKAPUR SIRIH

Tentang Karikatur dan Karikaturis

Adapun naluri untuk mencari kegirangan sudah sejak bayi kita miliki. Sejak ketika seorang bayi dilahirkan ibu nya segera melatih untuk menyukai kegirangan. Hampir setiap saat seorang ibu giat mengusahakan agar anaknya bisa ketawa girang. Ia menirukan tingkah binatang, mengeluarkan bunyi-bunyi aneh, memperagakan hal-hal yang tak masuk akal. Pendeknya merangsang agar anaknya suka tertawa. Dan ketika kita sudah akil-balik, kebutuhan akan kegirangan itu sudah melekat erat dalam diri kita. Kita hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegirangan. Yaitu kebutuhan yang setiap hari ditanamkan oleh ibu kita.

Dan sebuah karya kartun adalah bagaikan mainan ibu kita untuk merangsang rasa girang. Primer sebuah karya kartun adalah untuk memancing gelak. Minimal senyum. Ia bukan pertama – tama punya maksud menyuguhkan obyektifitas. Kartun menyuguhkan segi lain dari objektifitas sehingga ia menjadi akrab dan merangsang tawa. Sebuah karya kartun menciptakan peristiwa-peristiwa yang potensial lucu menjadi gambar yang benar-benar lucu. Bahkan yang terkadang menyuguhkan surprise, yaitu ketika ia mengubah hal-hal yang tak lucu menjadi lucu.

Seorang pelukis kartun meneruskan peran ibu untuk menggarap segala hal yang bisa ia kerjakan agar supaya anaknya mendapatkan kegirangan. Bukan hanya dengan peristiwa yang ‘sudah’ lucu akan tetapi dengan materi yang seharusnya membuat kita menangis.

Mereka yang bisa mencari kegirangan biasanya tak berminat untuk mencari definisi tentang apa yang disebut ‘lucu’. Agaknya bagian yang tersulit untuk dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut perbedaan-perbedaan pengalaman pribadi tentang apa-apa yang menyebabkan seseorang tertawa. Pengalaman tentang kelucuan pada dasarnya merupakan pengalaman personal.

Tapi agaknya kelucuan selalu kena-mengena dengan hal-hal yang tidak sempurna. Yang sempurna, yaitu yang dianggap tidak memerlukan perbaikan ataupun tidak lagi menyediakan ruang untuk menjadi lucu. Hanya mengenai hal-hal yang tak sempurna kita bisa menjadikan ruang untuk menjadi lelucon. Dalam arti ini maka segala sesuatu yang terjadi di dunia manusia potensial untuk menjadi bahan lelucon. Orang mati tak mengerti lagi sedkit pun tentang lelucon.

Seorang kartunis diharap berperan sebagai nurani yang dapat diajak berwawancara dengan diri sendiri. Menjadi semacam medium untuk mengungkapkan jarak antara suatu peristiwa dengan keterlibatan seseorang atau banyak orang dalam perisitiwa itu. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang mempu mngambil jarak terhadap diri sendiri. Kemampuan ini membedakan manusia dengan ciptaan lain. Manusia punya nurani. Atas dasar inilah seorang kartunis bekerja. Ia mengandalkan bahwa semua orang mampu mengambil jarak terhadap dirinya. Mampu pula menertawai dirinya. Namun sebuah lelucon bukanlah kothbah. Karya kartun tidak menuntut pertobatan, baik pada awal atau akhirnya. Ia hanya menuntut kita untuk menghidupkan nurani kita.

Ia mungkin mengusulkan terhadap sesuatu soal dalam masyarakat secara tajam. Seolah-olah ia diteriakan dengan nada melengking dalam ruangan di mana kita berada. Goresan karikatural yang menonjol dengan uraian gambar tentang perisitwa tertentu dipelesetkan kea rah yang bisa membuat rasa lucu kita terangsang. Demikianlah mungkin sebuah kartun yang menjadikan diri kita sebagai obyek membuat kita kecut.

Namun kekecutan tersebut sudah dalam dirinya merupakan jalan keluar yang paling baik dan aman. Ia adalah sebuah jalan damai ke arah realitas. Realitas tidak dipengapkan, hanya diwujudkan kembali dengan keinginan untuk mendapatkan rasa girang.

Peristiwa itu sendiri mungkin tidak cocok atau tidak persis seperti peristiwa yang terjadi, akan tetapi seorang kartunis bukanlah hakim, bukan pula jaksa, lebih-lebih ia bukanlah seorang dengan pretensi mengubah masyarakat. Dan jikalau ia sudah menjadi jaksa atau hakim terhadap sesuatu peristiwa biasanya ia tidak lucu lagi. Ia berhenti sebagai pengejek atau pemuja. Orang tak memerlukan lagi nurani untuk menjadi sekedar pemuja atau pencela.

Sekian………..

Jumat, 05 Juni 2009

LATAR SOSIAL SENI

setiap karya seni, banyak sedikitnya mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni ada karena seorang seniman menciptakan nya. Dan, seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. kshidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas senimannya. Dalam menghadapi rangsangan penciptaannya, seniman mungkin sekedar saksi masyarakat, atau memberikan alternatif dari kehidupan masyarakat, atau memberikan pandangan baru yang sama sekali asing dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, seniman memainkan peran keberadaannya yang bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat dengan tata nilainya sendiri, dan dia belajar hidup dengan tata nilai tersebut, ia juga punya kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakat nya itu.

Jakob Sumardjo....
Salam Lorong....