Seni rupa kontemporer menunjukkan kemunculannya di Yogyakarta sekitar tahun 1973. Waktu itu sejumlah mahasiswa STSRI “ASRI” mulai bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru. Sejumlah Mahasiswa seperti Hardi, Agus Dermawan T, Harsono, Siti Adiati, mengikuti jejak senior mereka seperti Muryoto Harotoyo, mulai menyadari pentingnya menambah pengetahuan di bidang-bidang lain, terutama filsafat. Hardi, misalnya sering mencomot pemikiran Martin Buber. Pengetahuan mereka tentang filsafat tentu saja tidak mendalam, tetapi waktu itu mereka sadar bahwa STSRI “ASRI” ketinggalan dari ITB dalam memanfaatkan ilmu-ilmu bantu. Diskusi sering diselenggarakan dan mahasiswa meresponnya dengan antusias (waktu itu masih ada lembaga Dewan Mahasiswa yang nantinya dibubarkan ketika Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Keadaan ini dibuat lebih hidup dengan seringnya STSRI “ASRI”, antara lain lewat Pak Soedarso Sp., mendatangkan penceramah asing. Ceramah biasanya disertai dengan diskusi dan pemutaran slide, kegiatan tersebut seperti pemutaran film tentang kehidupan seniman dan proses penciptaannya sekarang ini jarang diadakan.
Keadaan itulah yang ikut mendorong mahasiswa mengekspresikan dirinya tidak hanya di “Menara Gading” kampus tapi juga di masyarakat. Kelompok 5 lahir antara lain juga didorong oleh keadaan semacam itu. Kelompok ini terdiri Hardi, Harsono, B. Munny Ardhi, Siti Adiati, dan Nanik Mirna. Mereka berlima bisa disebut sebagai agen perdebatan dan diskusi di STSRI “ASRI”. Tetapi cerita mereka dari sisi negative juga ada. Mereka kadang-kadang kurang menghargai orang lain. Kritik mereka terhadap Jurusan Dekorasi (kini Program Studi Disain Interior FSR ISI), meskipun maksudnya baik, seringkali menyakitkan hati. Dengan kata lain, kelompok ini juga bisa dikatakan memiliki kekuasaan di kalangan mahasiswa. Nantinya akan terlihat bahwa kelompok ini kadang-kadang, dengan kekuasaan mereka, melecehka mahasiswa-mahasiswa tertentu . kelompok inilah yang bersama Sanento Yuliman, kritikus seni rupa dan pengajar ITB, dan sejumlah mahasiswa ITB mendeklamasikan terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).
Berbekalkan idealisme yang menyala-yala, mereka menggelar karya-karya seni lukis di beberap kota, antara lain Solo dan Surabaya. Pameran ini, terutama yang di Surabaya di liput secara luas di media massa antara lain, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Kompas, Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan), dan suara karya. Pameran dSolo diselenggerakan 16-20 September 1972, sedangkan yang di Surabaya diselenggerakan setahun kemudian, mulai 27 Agustus 1973. Terselenggaranya kedua pameran ini oleh lima mahasiswa STSRI “ASRI” merupakan prestasi tersendiri mengingat waktu itu keadaan ekonomi Indonesia masih memilukan dan izin pameran seni rupa juga tidak gampang didapat. Para mahasiswa STSRI “ASRI” waktu itu memang giat melakukan pameran, termasuk keluar kota, dan diskusi. Semarang yang waktu itu masih terlelap (dan akan terus terlelap?) tidur dalam kegiatan pameran, oleh para mahasiswa STSRI “ASRI” dicoba dibangunkan dengan kegiatan pameran, meskipun hingga sekarang Semarang terus tidur nyenyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar