Jumat, 19 Juni 2009

SENI SEBAGAI NILAI

Seni bukanlah benda, tetapi kata. Tentu saja seni merupakan wujud, bentuk, sesuatu yang dapat diindera manusia. Seni pada dasarnya adalah artefak, berupa gambar, bongkahan bentuk dalam kayu, logam, batu, berupa tulisan, berupa rangkaian bunyi, dsb. Tetapi, sebuah artefak misalnya film televisi , dan lebih khusus lagi adalah telenovela, sinetron, adalah artefak. Kalau sudah ditayangkan di layar televisi, sebagian orang menilainya bukan seni, malah ‘sampah’. Nilai adalah sesuatu yang bersifat subjektif, tergantung pada manusia yang menilainya. Karena subjektif, maka setiap orang, kelompok, masyarakat memiliki nilai-nilai nya sendiri yang disebut seni.

Jakob Sumardjo…

SEKAPUR SIRIH

Tentang Karikatur dan Karikaturis

Adapun naluri untuk mencari kegirangan sudah sejak bayi kita miliki. Sejak ketika seorang bayi dilahirkan ibu nya segera melatih untuk menyukai kegirangan. Hampir setiap saat seorang ibu giat mengusahakan agar anaknya bisa ketawa girang. Ia menirukan tingkah binatang, mengeluarkan bunyi-bunyi aneh, memperagakan hal-hal yang tak masuk akal. Pendeknya merangsang agar anaknya suka tertawa. Dan ketika kita sudah akil-balik, kebutuhan akan kegirangan itu sudah melekat erat dalam diri kita. Kita hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegirangan. Yaitu kebutuhan yang setiap hari ditanamkan oleh ibu kita.

Dan sebuah karya kartun adalah bagaikan mainan ibu kita untuk merangsang rasa girang. Primer sebuah karya kartun adalah untuk memancing gelak. Minimal senyum. Ia bukan pertama – tama punya maksud menyuguhkan obyektifitas. Kartun menyuguhkan segi lain dari objektifitas sehingga ia menjadi akrab dan merangsang tawa. Sebuah karya kartun menciptakan peristiwa-peristiwa yang potensial lucu menjadi gambar yang benar-benar lucu. Bahkan yang terkadang menyuguhkan surprise, yaitu ketika ia mengubah hal-hal yang tak lucu menjadi lucu.

Seorang pelukis kartun meneruskan peran ibu untuk menggarap segala hal yang bisa ia kerjakan agar supaya anaknya mendapatkan kegirangan. Bukan hanya dengan peristiwa yang ‘sudah’ lucu akan tetapi dengan materi yang seharusnya membuat kita menangis.

Mereka yang bisa mencari kegirangan biasanya tak berminat untuk mencari definisi tentang apa yang disebut ‘lucu’. Agaknya bagian yang tersulit untuk dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut perbedaan-perbedaan pengalaman pribadi tentang apa-apa yang menyebabkan seseorang tertawa. Pengalaman tentang kelucuan pada dasarnya merupakan pengalaman personal.

Tapi agaknya kelucuan selalu kena-mengena dengan hal-hal yang tidak sempurna. Yang sempurna, yaitu yang dianggap tidak memerlukan perbaikan ataupun tidak lagi menyediakan ruang untuk menjadi lucu. Hanya mengenai hal-hal yang tak sempurna kita bisa menjadikan ruang untuk menjadi lelucon. Dalam arti ini maka segala sesuatu yang terjadi di dunia manusia potensial untuk menjadi bahan lelucon. Orang mati tak mengerti lagi sedkit pun tentang lelucon.

Seorang kartunis diharap berperan sebagai nurani yang dapat diajak berwawancara dengan diri sendiri. Menjadi semacam medium untuk mengungkapkan jarak antara suatu peristiwa dengan keterlibatan seseorang atau banyak orang dalam perisitiwa itu. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang mempu mngambil jarak terhadap diri sendiri. Kemampuan ini membedakan manusia dengan ciptaan lain. Manusia punya nurani. Atas dasar inilah seorang kartunis bekerja. Ia mengandalkan bahwa semua orang mampu mengambil jarak terhadap dirinya. Mampu pula menertawai dirinya. Namun sebuah lelucon bukanlah kothbah. Karya kartun tidak menuntut pertobatan, baik pada awal atau akhirnya. Ia hanya menuntut kita untuk menghidupkan nurani kita.

Ia mungkin mengusulkan terhadap sesuatu soal dalam masyarakat secara tajam. Seolah-olah ia diteriakan dengan nada melengking dalam ruangan di mana kita berada. Goresan karikatural yang menonjol dengan uraian gambar tentang perisitwa tertentu dipelesetkan kea rah yang bisa membuat rasa lucu kita terangsang. Demikianlah mungkin sebuah kartun yang menjadikan diri kita sebagai obyek membuat kita kecut.

Namun kekecutan tersebut sudah dalam dirinya merupakan jalan keluar yang paling baik dan aman. Ia adalah sebuah jalan damai ke arah realitas. Realitas tidak dipengapkan, hanya diwujudkan kembali dengan keinginan untuk mendapatkan rasa girang.

Peristiwa itu sendiri mungkin tidak cocok atau tidak persis seperti peristiwa yang terjadi, akan tetapi seorang kartunis bukanlah hakim, bukan pula jaksa, lebih-lebih ia bukanlah seorang dengan pretensi mengubah masyarakat. Dan jikalau ia sudah menjadi jaksa atau hakim terhadap sesuatu peristiwa biasanya ia tidak lucu lagi. Ia berhenti sebagai pengejek atau pemuja. Orang tak memerlukan lagi nurani untuk menjadi sekedar pemuja atau pencela.

Sekian………..

Jumat, 05 Juni 2009

LATAR SOSIAL SENI

setiap karya seni, banyak sedikitnya mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni ada karena seorang seniman menciptakan nya. Dan, seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. kshidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas senimannya. Dalam menghadapi rangsangan penciptaannya, seniman mungkin sekedar saksi masyarakat, atau memberikan alternatif dari kehidupan masyarakat, atau memberikan pandangan baru yang sama sekali asing dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, seniman memainkan peran keberadaannya yang bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat dengan tata nilainya sendiri, dan dia belajar hidup dengan tata nilai tersebut, ia juga punya kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakat nya itu.

Jakob Sumardjo....
Salam Lorong....